.:':. Apatheia blog .:':.

Manusia menjadi berbahagia kalau ia bertindak sesuai dengan akal budinya. Kebahagiaan itu sama dengan keutamaan. Kalau manusia bertindak secara rasional, kalau ia tidak dikuasai lagi oleh perasaan-perasaannya, maka ia bebas berkat ketenangan batin yang disebut "apatheia"
it is a concept, or mental exercise of letting go of your problems, at least the ones you have no control over, and letting God deal with them.
celoteh Apatheia | OpenYourMind | Apatheia story | Catatan | Style

catatan: November 2009

Wednesday, November 25, 2009

Tentang IKhlas

Sekilas tentang Ikhlas 



Ikhlas, kata yang akrab di telinga dan lidah, namun belum tentu dekat di hati. Ikhlas, kata yang simpel namun memiliki makna yang mengakar dalam hati, dalam jiwa, dari detik penciptaan dan perjalanan hidup kita. Ikhlas, mudah untuk diucapkan, namun seringkali manusia sulit untuk melakukannya, entah karena alasan apapun: ingin dan ego.
Dalam hidup, seringkali segala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita. Lumrah saja bila kita meneropong hidup dari kacamata yang lebih luas. Manusia hidup tidak sendiri. Hal ini bukan berarti pencapaian keinginan adalah hasil kompromi dengan manusia lain, namun berkaitan dengan rencana yang telah Kanjeng Gusti atur untuk kita, atau meminjam istilah dari sekolah kehidupan, garis besar kurikulum pengajaran. Tentunya tidaklah saklek bagi kita, tidak seperti robot. Manusia masih punya hak untuk memilih: menolak atau menjalani.
Misalnya seperti di sekolah, kita merasa sudah belajar mati-matian namun tahu-tahunya nilai kita masih merah. Apa yang terjadi? Seharusnya kita dapat nilai yang lebih bagus, seharusnya kerja keras kita berbuah hasil yang pantas.
Kita bisa saja menyalahkan guru kita, menuduh bahwa ia tidak adil, dan sebagainya. Lalu kita menolak untuk mengikuti kelasnya, menolak untuk belajar. Namun apakah hal itu dapat membuat kita jadi lebih pintar?
Jangan-jangan aksi protes kita alih-alih malah merugikan diri sendiri. Ternyata setelah dievaluasi, cara belajar kita yang salah. Misalnya, bagaimana pelajaran bisa dipahami dengan baik kalau cara belajar kita sistem kebut semalam? Bagaimana kita bisa konsentrasi belajar kalau sebentar-sebentar Blackberry berbunyi dan kita selalu gatal untuk menjawab?
Ketika hubungan saya dengan mantan kekasih berakhir, saya tidak rela. Bagaimana mungkin saya menerima akhir hubungan itu begitu saja? Sudah banyak yang telah saya investasikan dalam hubungan ini: harapan, impian, perasaan, dan pengorbanan.
Awal hubungan kami, dapat dikatakan, tidak berjalan dengan mulus, sandungan kekasih masa lalu masih membayangi hubungan kami. Ketika hubungan itu mulai memasuki tahap yang lebih serius, kami pun dibayangi dengan keraguan akan masa depan dan rasa tidak percaya diri. Namun karena kami saling menyayangi dan perasaan itu telah tumbuh begitu kuat, kami bertahan, meski saya tidak mengerti mengapa kedamaian tidak kami rasakan.
Saat bertemu dengannya, saya merasa bahagia namun saat kami tidak dapat bertemu, saya takut kehilangan. Ketika bertemu dengannya, saya pun sangat mengontrol diri saya karena saya takut berbuat "salah" sehingga momen bahagia yang jarang itu pun rusak. Begitupun ia. Dengan caranya sendiri, ia berusaha untuk membahagiakan saya meski ia sendiri merasakan kejanggalan. I love you but something doesn't feel right.
Putus sambung jadi makanan bulanan kami. Berkali-kali kata itu terucap, namun berkali-kali pula kami menarik keputusan itu karena perasaan rindu dan takut kehilangan.
Ketika putus itu benar-benar final, saya depresi. Bagaimana mungkin hubungan yang telah saya bangun dengan susah payah, dengan pengorbanan yang begitu besar, saya biarkan berakhir begitu saja? Saya menyalahkan awal perjumpaan kami, mengapa kami menjalin hubungan kalau hanya untuk hasil akhir yang sia-sia, menyalahkan sahabat yang senantiasa memberi saran pada saya untuk berani mengutarakan perasaan hati meski bertentangan dengan keinginan (mantan) kekasih saya, tak kurang juga menyalahkan Tuhan yang (waktu itu) saya vonis telah menyeret saya dalam hubungan yang menyedihkan sekaligus melelahkan ini.
Saya marah, saya sedih, saya tidak rela, saya kecewa. Semakin saya memikirkannya dan menyadari bahwa waktu tak bisa diputar kembali, saya putus asa. Saya menutup pintu hati saya, menyeret diri dalam kepahitan dan sarkasme akan kebahagiaan sejati. Saya pesimistis dan menertawakan setiap cerita bahagia orang lain sebab saat itu saya yakin bahwa kebahagiaan itu seperti sepuntung rokok yang dibakar. Lama-lama habis, berubah menjadi abu, ditinggalkan, dan dilupakan.
Namun semakin saya tenggelam dalam kepedihan, semakin saya marah, saya merasa suatu suara jauh dalam hati saya, memanggil saya, mengusap hati saya yang dirundung kegelapan, berbisik pada saya untuk bangkit, berjalan kembali menuju Cahaya.
Saat itu saya teringat ucapan sahabat saya,
"Ketika kamu merasa sepi, rasakanlah. Ketika kamu sedih, rasakanlah. Ketika kamu menyesal, rasakanlah. Jangan kau tolak, sebab dengan begitu, akan kamu rasakan indahnya sepi, sedih, dan sesal."
Waktu ia mengatakan hal itu pada saya, saya hanya mengangguk-ngangguk pada nasehat yang terdengar idealis dan tidak masuk akal. Namun ketika Tuhan memanggil, siapa yang bisa menolak? Kita adalah bagian dari zat-Nya, kita yang pergi, akhirnya pun akan kembali pada-Nya dengan cara-cara yang misterius dan tidak terduga oleh akal manusia.
Ia berbisik, "Jadilah ikhlas, anak-Ku." Bukan dengan kepasrahan pasif, melainkan menerima dengan sepenuh hati dan rasa syukur. Menikmati aliran hidup dan ayunannya.
Perlahan seiring waktu, saya mulai melihat, meninjau, dan mengevaluasi kembali dengan ikhlas hati. Saya dan dia, dalam perjalanan hidup kami, dipertemukan, diijinkan untuk beriring bersama, saling mengenal, dan membuka rahasia hati masing-masing. Dalam proses itu, ada kasih, ada pembelajaran, baik mengenai pasangan maupun tentang diri sendiri. Ia bercerita pada saya tentang dunianya dan begitupun saya, berbagi pemikiran, berbagi perasaan. Indah rasa bahagia itu, indah pula rasa rindu, sepi, sedih, dan sesal.
Saya pun sadar bahwa saya tidak mungkin berada di tempat saya sekarang tanpa ia pernah hadir dalam hidup saya. Contoh kecil, saya tidak mungkin berani bermimpi menjadi penulis kalau bukan ia yang mendorong saya terus-menerus. Saya tidak mungkin bekerja di industri saya sekarang jika ia tidak mengenalkan dunia ini pada saya. Contoh besarnya, saya tidak mungkin mengenal diri saya dengan lebih baik seperti sekarang jika tidak melalui hubungan dengannya. Mengutip Paulo Coelho, "kesulitan" (difficulty) adalah "alat" yang teruji "turun-temurun" bagi manusia untuk mengenal dirinya. Saya pun bersyukur atas segala hal yang telah Tuhan ijinkan untuk saya alami.
Tentunya ikhlas tidak terjadi dalam semalam. Butuh proses. Bukan waktu yang paling dibutuhkan, melainkan sikap hati dan kesadaran, bahwa kita adalah bagian dari-Nya, jatuh bangun kita selalu disertai oleh-Nya, dan di balik kekelaman sekalipun, berkat menunggu untuk kita singkap.


Jakarta, 25 November 2009
Canting Candrakirana


Catatan :
1. Tuhan tidak mungkin mmberi beban di luar batas kemampuan kita
2. Cukuplah kita memikirkan hubungan kita dengan Tuhan, maka Tuhan akan memikirkan jalan hidup kita

Jangan Memeluk terlalu Erat

 COPAS dari http://ngerumpi.com/baca/2009/10/20/jangan-memeluk-terlalu-erat.html



Pernah ngga ngebayangin, kalau bulan cuma muncul sekali dalam seratus tahun? Dijamin, kita bakal menatapnya dengan segala ketakjuban dan kekaguman. Tapi dia muncul hampir di setiap malam, dan akhirnya kita lupa, dia selalu berjaga di atas sana, saat kita sudah jatuh terlelap, atau ngerusuh malem-malem di ngerumpi, sekadar melawan godaan sunyi pada jam dinding yang berdetak.
Sesuatu yang selalu ada, entah kenapa, akan terasa kurang berharga.
Trus, kalau misalnya bulan ada di sini, menggantikan bumi, akankah tetap kita tulis beribu puisi itu, yang memuja keindahan cahayanya? Akankah kita menggambarkan pesona sang kekasih seindah wajah rembulan? Kayaknya sih nggak. Malah akan kita injak-injak dia tanpa beban, tanpa terima kasih, tanpa kekaguman. Akan kita perkosa hutan-hutannya, kita reguk sari dari perutnya, seperti yang kita lakukan kepada bumi saat ini.
Sesuatu yang terlalu dekat, tak kan lagi indah terlihat.
Cinta konon seperti setumpuk pasir di telapak tangan. Digenggam kuat-kuat, butirannya akan berebut mencari celah untuk keluar, dan jatuh meluruh ke bumi. Pun telapak tangan kita akan merasakan perih akibat perlawanan itu. Tetapi jika digenggam dengan lembut, dengan menyisakan ruang untuk butiran itu, dia akan bertahan di sana, terasa ringan dan nyaman dalam genggaman.
Hal pertama yang perlu diingat ketika mencintai seseorang adalah, menyadari pada saatnya nanti, dia akan berlalu. Bermimpi cinta akan abadi, sama saja menyiapkan luka untuk diri sendiri.
Lagian, ngga ada manusia yang suka dikurung, walau itu atas nama cinta, karena rasa takut akan kehilangan. Bayangin coba, ketika suatu saat Anda tersentak bangun, menemukan diri berada di sebuah ruang gelap, mencoba memanjat tembok dalam butanya gulita. Tapi semua terkunci, tak ada celah beranjak pergi. Menyesakkan, putus asa, dendam, kalap, kalut, lalu mati.
Nah, jika Anda tak mau mati terjepit seperti itu, mengapa berpikir dia akan bersedia?
Walau mencintainya separuh hidup setengah mati, lepas sajalah. Jika dia memang untukmu, dia akan kembali. Dan bila dia memilih berlalu pergi, nah untuk apa mengalamatkan harap, mempersembahkan cinta kepada mereka yang tak merasa membutuhkannya? Bahkan menyerah tak selalu berarti lemah. Bisa jadi malah karena Anda cukup kuat membiarkannya pergi, cukup dewasa untuk tidak bertepuk sebelah tangan, terlalu keren untuk menjadi pengemis cinta, terlalu smart untuk menjadi kelihatan bodoh :D
Sayangi dirinya, juga dirimu, dengan berhenti memeluknya terlalu erat. Seperti semua
Terbitkan Entri
hal yang lain, cinta juga membutuhkan ruang, agar bisa berkembang. Menguasainya, adalah membunuhnya.

Catatan :
People say : Love like sand, more you keep it, more you lose it
Dee Says : Mari kita seiring bukan digiring