.:':. Apatheia blog .:':.

Manusia menjadi berbahagia kalau ia bertindak sesuai dengan akal budinya. Kebahagiaan itu sama dengan keutamaan. Kalau manusia bertindak secara rasional, kalau ia tidak dikuasai lagi oleh perasaan-perasaannya, maka ia bebas berkat ketenangan batin yang disebut "apatheia"
it is a concept, or mental exercise of letting go of your problems, at least the ones you have no control over, and letting God deal with them.
celoteh Apatheia | OpenYourMind | Apatheia story | Catatan | Style

catatan: sudah siap menikah ??

Thursday, May 20, 2010

sudah siap menikah ??

copy paste tulisan Bang Toga 
"Sudah benar-benar siap untuk menikah?"
What? Duh, kakak sepupuku yang satu ini rupanya tidak begitu mengenal aku. Aku orang yang sangat luwes dalam pergaulan, bahkan di kalangan teman-teman, aku diakui punya bakat alami soal ilmu jiwa. Gaya bicaraku memang memukau. Koleksi cerita lucuku segudang. Jika ada temen-temen yang "bersengketa" aku selalu menjadi jurudamai yang efektif. Pokoknya, ngga ada aku ngga rame deh! Apalagi hanya mengurusi satu orang?
Dan di atas segalanya, aku sangat mencintai wanita itu, hingga (rasanya) apapun akan kulakukan, agar jangan sampai kehilangan dirinya. Serius!
Eh, tapi aku tidak boleh terlihat terlalu yakin atau menyepelekan kekhawatirannya. Itu tidak sopan. Bagaimanapun dia lebih tua, dan sudah lebih dulu menikah. Maka dengan intonasi "merendah" aku jawab, "Insya Allah, Bang."
"Ya, jawaban bagus. Insya Allah. Mudah-mudahan kau memang siap," ujarnya sembari menepuk-nepuk bahuku.
Sial! Dia memang benar-benar menyepelekanku. Tatapan matanya itu lho...
*****
Tidak perlu waktu lama buatku untuk kemudian menyadari, bahwa gelar profesor ilmu psikologi sekalipun tak bisa menjamin seseorang berhasil dalam pernikahannya. Begitu pula jika Anda seorang MC paling laris, pelawak paling memukau, entertainer paling sukses, dst.
Menikah ternyata bukanlah gerbang menuju kebahagiaan, tetapi medan perang, di mana kemenangan hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan. Dan kita manusia, tidak setiap saat siap berkorban. Juga sangat manusiawi, jika dalam setiap perselisihan, kita akan merasa menjadi pihak yang harus selalu mengalah, dan oleh karenanya berhak pada suatu titik, untuk merasa lelah. Yup, merasa selalu mengalah, padahal entahlah... Halah!
Di saat kau bahkan tak selalu bisa berdamai dengan dirimu sendiri, kau harus berbagi kehidupan dengan seseorang yang lain, dengan semua latar belakangnya, riwayat pengalamannya, keyakinan-keyakinannya, dan banyak sisi lain dirinya, yang sekadar "cuplikannya" pun kau tak pernah tahu.
Menjelang tahun ke-10 pernikahanku saat ini, pertanyaan kakak sepupu itu masih saja sering mengiang di kepala. "Sudah benar-benar siap untuk menikah?" Senyum tipisnya saat mengucapkan itu pun semakin kuat terekam di benak, dengan resolusi supertinggi.
Dan memang hingga detik ini, kami berdua masih harus berjuang sambil terus belajar, silih berganti berkorban untuk menyelamatkan pernikahan ini. Tidak selalu mudah, tapi juga tidak senantiasa sulit. Kadang kami ngakak sampai ngences, di lain waktu stres sampai lemes. Untuk ngerumpi tercinta, kadang aku menjadi "realis", kasih saran "Jangan Memeluk Terlalu Erat," tetapi di lain waktu mendadak "idealis" dan memekik lantang, "Tanpa Luka, Cinta Bukanlah Cinta". Tidak konsisten memang, "persis" seperti kehidupan yang harus aku, dan kita semua, hadapi. :))
Yang jelas, aku malu mengingat suatu hari dulu, pernah menyepelekan keraguan kakak sepupu itu, walaupun hanya di dalam hati. Dan jika saat ini dia kembali bertanya, apakah pernikahan kami akan bertahan, jawabanku pasti akan tetap sama, "Insya Allah," tetapi kali ini, benar-benar dengan segala kerendahan hati, bahkan sedikit kecemasan.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home