.:':. Apatheia blog .:':.

Manusia menjadi berbahagia kalau ia bertindak sesuai dengan akal budinya. Kebahagiaan itu sama dengan keutamaan. Kalau manusia bertindak secara rasional, kalau ia tidak dikuasai lagi oleh perasaan-perasaannya, maka ia bebas berkat ketenangan batin yang disebut "apatheia"
it is a concept, or mental exercise of letting go of your problems, at least the ones you have no control over, and letting God deal with them.
celoteh Apatheia | OpenYourMind | Apatheia story | Catatan | Style

catatan

Thursday, May 20, 2010

sudah siap menikah ??

copy paste tulisan Bang Toga 
"Sudah benar-benar siap untuk menikah?"
What? Duh, kakak sepupuku yang satu ini rupanya tidak begitu mengenal aku. Aku orang yang sangat luwes dalam pergaulan, bahkan di kalangan teman-teman, aku diakui punya bakat alami soal ilmu jiwa. Gaya bicaraku memang memukau. Koleksi cerita lucuku segudang. Jika ada temen-temen yang "bersengketa" aku selalu menjadi jurudamai yang efektif. Pokoknya, ngga ada aku ngga rame deh! Apalagi hanya mengurusi satu orang?
Dan di atas segalanya, aku sangat mencintai wanita itu, hingga (rasanya) apapun akan kulakukan, agar jangan sampai kehilangan dirinya. Serius!
Eh, tapi aku tidak boleh terlihat terlalu yakin atau menyepelekan kekhawatirannya. Itu tidak sopan. Bagaimanapun dia lebih tua, dan sudah lebih dulu menikah. Maka dengan intonasi "merendah" aku jawab, "Insya Allah, Bang."
"Ya, jawaban bagus. Insya Allah. Mudah-mudahan kau memang siap," ujarnya sembari menepuk-nepuk bahuku.
Sial! Dia memang benar-benar menyepelekanku. Tatapan matanya itu lho...
*****
Tidak perlu waktu lama buatku untuk kemudian menyadari, bahwa gelar profesor ilmu psikologi sekalipun tak bisa menjamin seseorang berhasil dalam pernikahannya. Begitu pula jika Anda seorang MC paling laris, pelawak paling memukau, entertainer paling sukses, dst.
Menikah ternyata bukanlah gerbang menuju kebahagiaan, tetapi medan perang, di mana kemenangan hanya bisa diperoleh dengan pengorbanan. Dan kita manusia, tidak setiap saat siap berkorban. Juga sangat manusiawi, jika dalam setiap perselisihan, kita akan merasa menjadi pihak yang harus selalu mengalah, dan oleh karenanya berhak pada suatu titik, untuk merasa lelah. Yup, merasa selalu mengalah, padahal entahlah... Halah!
Di saat kau bahkan tak selalu bisa berdamai dengan dirimu sendiri, kau harus berbagi kehidupan dengan seseorang yang lain, dengan semua latar belakangnya, riwayat pengalamannya, keyakinan-keyakinannya, dan banyak sisi lain dirinya, yang sekadar "cuplikannya" pun kau tak pernah tahu.
Menjelang tahun ke-10 pernikahanku saat ini, pertanyaan kakak sepupu itu masih saja sering mengiang di kepala. "Sudah benar-benar siap untuk menikah?" Senyum tipisnya saat mengucapkan itu pun semakin kuat terekam di benak, dengan resolusi supertinggi.
Dan memang hingga detik ini, kami berdua masih harus berjuang sambil terus belajar, silih berganti berkorban untuk menyelamatkan pernikahan ini. Tidak selalu mudah, tapi juga tidak senantiasa sulit. Kadang kami ngakak sampai ngences, di lain waktu stres sampai lemes. Untuk ngerumpi tercinta, kadang aku menjadi "realis", kasih saran "Jangan Memeluk Terlalu Erat," tetapi di lain waktu mendadak "idealis" dan memekik lantang, "Tanpa Luka, Cinta Bukanlah Cinta". Tidak konsisten memang, "persis" seperti kehidupan yang harus aku, dan kita semua, hadapi. :))
Yang jelas, aku malu mengingat suatu hari dulu, pernah menyepelekan keraguan kakak sepupu itu, walaupun hanya di dalam hati. Dan jika saat ini dia kembali bertanya, apakah pernikahan kami akan bertahan, jawabanku pasti akan tetap sama, "Insya Allah," tetapi kali ini, benar-benar dengan segala kerendahan hati, bahkan sedikit kecemasan.

Tuesday, February 09, 2010

Tanpa Luka Cinta Bukan lah Cinta

Copy Pasti dari http://ngerumpi.com/baca/2010/02/10/tanpa-luka-cinta-bukanlah-cinta.html
The greater your capacity to love, the greater your capacity to feel the pain--Jennifer Anniston
TAK ADA gading yang tak retak, tak ada kekasih yang tak pernah buat palak. Pecinta sejati pun tak selalu bisa menyediakan semua yang kau inginkan, tak selalu berhasil menghindarkanmu dari luka, bahkan kadang tak bisa mencegah dirinya menjadi sumbernya. Tapi jika dia tak menyayangimu seperti yang kau inginkan, bukan berarti dia tak mencintaimu dengan segala yang dia punya, dengan semua yang dia bisa.
Tak sadar, kita kadang menjadi seperti bos-bos yang menyebalkan itu; menilai sesuatu hanya dari hasil, sama sekali tak memperhitungkan upaya dan perjuangan anak buah. Cinta, semestinya juga bukan semata soal hasil akhir, tetapi lebih kepada pergulatan hari demi hari, antara tangis dan tawa, antara hari yang gurih dan malam yang perih, desah yang legit, kesah yang pahit, tentang tawa yang tak selalu bisa berderai, tentang orgasme yang tak selalu bisa tercapai. *Lho?
Aku tak bisa menjanjikanmu cinta yang berakhir bahagia, karena cintaku adalah perjuangan tanpa akhir.
Kalian begitu dekat, sehingga denyut nadinya adalah detak jantungmu, rambutmu leluasa menggelombang sampai ke dahinya, ketika matanya terpejam kaulah yang jatuh tertidur. Akankah kau biarkan ada yang lain sedekat itu pula denganmu? Pun jika kau biarkan, akankah dia bisa mencapaimu sudut-sudut jiwamu? (Jangan-jangan dia bahkan tidak tahu di sebelah mana pintu menuju hatimu).
Akankah kau paksa hela napasmu mengenali bau tubuh lain? Bisakah kau pastikan ada bibir lain yang bisa menghapus tuntas bekas bibirnya di bibirmu? (Kata orang, ga selalu mudah loh mencari kontur bibir yang benar-benar fit dengan bibirmu. Bisa malah seperti mencari kepingan puzzle yang tercecer).
Pasti lebih mudah membuka mata melihat perjuangannya mencintaimu, dengan segala ketidaksempurnaannya, menerima dan mencintai ketidaksempurnaanmu. Dia membiarkanmu menjadi dirimu sendiri, saat kau sendiri mulai berpikir untuk menjadi orang lain.
Maka mencintainya, hari demi hari, adalah mencintai dirimu sendiri. Menyadari perihnya akan membuatmu menangis, kebahagiannmu membuatnya tertawa.
*****
DI HADAPANNYA, dalam setiap momen yang kalian punya, ekspresikan segala yang kau rasakan, proyeksikan semua yang kau impikan. Biar menyeruak, seperti pusaran debu diterbangkan angin. Bukankah salju pun membiarkan dirinya meleleh di gerbang musim semi, tanpa pernah sempat memperkenalkan dirinya pada kuncup dan kelopak bunga.
Bertengkarlah dengannya. Berteriaklah dalam bara amarahmu. Di kali lain, cicipi pula pedas kata-katanya, karena hubungan jangka panjang, mustahil bisa selamat dari hal-hal seperti itu. (Tapi kalau dia sudah main tangan, berhentilah membaca ini, dan cari segera kantor polsek terdekat).
Yang penting adalah, bagaimana kamu dan dia bisa kembali merasakan cinta mengobati semua luka, terpadukan lagi, terhubungkan kembali, dan setiap kali itu terjadi, kalian mestinya telah naik satu level, semakin esensial, semakin terbiasa dengan kehadirannya, semakin tak bisa tanpa keberadaannya.
Seperti kehidupan itu sendiri, cinta adalah pergulatan yang pada titik tertentu akan memeras kelenjar air matamu, meremukkan hatimu yang ringkih, membuatmu terjebak dalam malam-malam panjang, saat mata tak bisa dipaksa pejam.
Tetapi tetaplah di situ, bergulat bersama pengertian, kedamaian, pertentangan, kekhilafan, bara api, perih tanpa suara, dan cinta yang menggenapinya.
Karena cinta adalah tentang menyatukan yang pecah, merekatkan yang terpisah, memulihkan luka, mengenali duka, mengakrabi lara, mengerti nestapa. Juga tentang menyediakan bahu menampung air mata. Inilah penyatuan kembali, kesadaran yang datang perlahan, bahwa di balik semua kekalutan itu, kalian sesungguhnya telah membangun sejarah keindahan yang begitu panjang, begitu panjang sehingga luka itu terlihat hanya berupa titik-titik yang tak penting.
Demi semua kegamangan dalam ketidakpastian yang menyelimuti setiap hari yang tiba, inilah hidupmu, ketakutanmu, egomu, mimpimu, esokmu, sejarahmu. Dan untuk itu semua, serela-relanya, kau akan mempertaruhkan segalanya. Ini cinta yang telah kau pilih. Biarlah bersamanya datang segala perih, tak karenanya hati menyerpih. Tak ada luka yang tak bisa pulih.
Tanpa luka, cinta bukanlah cinta. Tanpa tangisan, bagaimana sebuah kisah cinta bisa jadi legenda? Karena bahagia bukan saja tentang riuh tawa, tetapi juga tetes air mata, ketika kita menggunakannya membasuh luka, menenggelamkan duka. Dahsyatnya lara yang bisa kau lewati, adalah ukuran besarnya hati yang kau miliki, dan agungnya cinta yang di sana menjadi penghuni.

* Semakin menyadari betapa aku belum benar-benar mampu mencintaimu* 

Tuesday, January 19, 2010

Karena Cinta dan Benci Datang dari Tempat yang Sama

Artikel diambil darisini

Batas cinta dan benci konon setipis kulit bawang. Kepada orang yang (pernah) kita cinta setengah mati, suatu saat kita bisa benci ¾ mati. (Bunga 25%, jauh di atas BI rate). Iya, sumbernya memang sama: hati.



Ketika kini aku membencimu, itu karena aku mencintaimu sampai pada titik di mana hatiku hancur menyerpih karenanya.



Ada ungkapan kami orang Batak-walaupun nggak menggambarkan karakter pemilik ungkapan itu ya-indang di ho, indang di ahu, tumagonan ma tu begu. Harfiahnya kira-kira, "gue ngga dapet, elo juga ngga boleh dapet, mending buat hantu sekalian!"



Inilah barangkali yang menjadi ruh dari SMS yang bernada geram itu: "Lo udah buat idup gw hancur. Skrg giliran idup elo gw buat berantakan!" Ketika Anda hubungi kembali, nomor pengirim SMS itu tak pernah lagi aktif, selama-lamanya.



Sampai di sini, defenisi itu, bahwa mencintai berarti menginginkan kebahagiaan untuknya, walau tak harus bersamanya atau memilikinya, menjadi basa-basi yang beneran basi. Atau kita memang tak pernah mencintai siapapun, kecuali diri kita sendiri?



Maka ketika diri kita-satu-satunya yang kita cintai itu-tersakiti, pelakunya harus merasakan sakit yang sama, plus bonusnya tentu saja, sekalipun ia adalah seseorang yang, once upon a time, kita sebut sebagai yang tercinta.



Yang lebih kacaunya, seringkali tak ada siapapun yang menyakiti kita sebenarnya, kecuali diri kita sendiri. Tapi kita harus menemukan seorang terdakwa untuk penderitaan ini, dan orang itu adalah dia!



Jadi inget ungkapan orang Batak lainnya. (Doh, kok jadi sangat Batak nih tulisan). Hassit mulak mangido, humassitan mulak mangalean. Emg sakit ketika permintaan kita ditolak, tp ngga sesakit kalau yang ditolak itu pemberian. Apalagi kalau yang diberikan itu adalah hati...



Ketakutan akan penolakan, telah menjadi teror yang menyeramkan dalam kehidupan, yang mewarnai kisah nyata umat manusia, juga skenario rekaan di layar sinema. Kita kadang sulit menakar, mana yang lebih perih: cinta yang tak pernah diucapkan, atau cinta yang terucap, tetapi berujung penolakan.



Apakah kita punya hak membenci seseorang, hanya karena dia tidak menerima hati yang kita berikan? Apakah kita boleh mengatakan, "Karena cintaku tak kau butuhkan, berarti yang kau perlukan dariku adalah kebencian?"



Entahlah... Tetapi saya, dan banyak orang yang saya kenal, pernah seperti itu. Sampai kemudian saya tahu, cinta yang ditolak bukanlah akhir segalanya. Benar, semua memang akan berakhir jika cinta yang "ditolak" itu kemudian kita biarkan melintasi batasnya yang setipis kulit bawang, menjadi kebencian. Orang yang tadinya masih agak Simpati dan menganggap kita Fren, pasti berubah menjadi Mentari, membakar kita dengan bara amarahnya.



Padahal ada option yang lebih baik. (1) Pamit baik-baik, mengemas kembali tumpahan hati yang tak menemukan muaranya itu, mencari samudera lain yang membutuhkannya, yang benar-benar bisa menghargainya.



Atau...



(2) Jika sungguh tak bisa pindah ke lain hati, tetaplah mencintainya, karena sebenarnya, tak siapapun yang bisa menolak persembahan cinta. Bukankah mencintai adalah hak setiap orang? Tetapi tentu saja, mencintalah dari jauh, melayarkan rindu yang tak pernah kunjung berlabuh. Sayangi dirinya tanpa membuatnya merasa terganggu. Panjatkan do'a untuknya, walau dia tak pernah tau, memohonkan bahagia untuknya, walau kebahagiaan itu dibaginya bukan denganmu.



Menyedihkan? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Yang jelas, itu tidak sekonyol cinta yang bermutasi jadi benci tadi. Lagian, Tuhan konon menyimpan sebuah janji rahasia di langit sana: bahwa tak ada balasan bagi cinta sejati, kecuali cinta sejati pula.



Siapa tau, ini cuma persoalan waktu...

Thursday, January 07, 2010

BIARKAN HATI KITA BERJABAT TANGAN KEMBALI

Biarkan Hati Kita Berjabat Tangan Kembali... 


( lagi-lagi copas dari Ngerumpi.com)
Kita kembali duduk berhadapan. Satu meja. Hanya aku, kamu, segelas coklat hangat dan cappuccino dingin pesananmu. Sebuah pertemuan tak disengaja yang membuat waktu menjadi milik kita kembali.
Hening. Kita berdua hanya terdiam. Aku sendiri tak akan memulai percakapan. Gengsi? Yah, anggap saja begitu... Atau lebih tepatnya lelah. Lelah karena dulu selalu aku yang memulai pembicaraan diantara kita. Semua pembicaraan penting yang menyangkut ‘kita', selalu aku yang memulai...
"Kok jadi diem-dieman gini yah?" Kalimat pertama meluncur dari mulutmu setelah aku dan kamu sama-sama sibuk dengan pikiran kita masing-masing.
"Ya masa' mau bikin kerusuhan disini?! Yang ada kita digebukin orang-orang di sini." Satu senyuman kusunggingkan tanpa melihat kearahmu.
"Hahaha, gak ada yang berubah ternyata dari kamu."
Pernyataan yang ingin kusanggah. Aku berubah. Dan jangan bersikap seolah kamu adalah orang yang paling mengenal aku sekarang. Kamu tahu, seharusnya kita saling berjabat tangan kembali sekarang, memperkenalkan diri masing-masing, membuat pembicaraan basa-basi untuk memulai perkenalan kita. Karena aku tidak sama seperti dulu dan aku yakin, kamu pun tak sama lagi sekarang. Tapi aku menahan diri, tak kusanggah pernyataanmu, aku hanya tersenyum...
Pembicaraan berlanjut, kali ini tentang kehidupanmu dan juga kehidupanku. Kehidupan kita masing-masing. Hingga coklat hangatku mendingin dan habis kuseruput serta gelas cappuccino-mu kosong, pembicaraan ini selesai.
"Kita harus ketemu lagi kapan-kapan. Aku kangen banget ternyata ketawa dan ngobrol b areng kamu." Ujarmu sebelum kita berpisah.
"Boleh... Atur aja kapan enaknya."
"Siph!!! See you soon.." Kamu melambaikan tangan sambil memutar badan. Kubalas lambaian tanganmu dan kuputar badanku.
Kembali aku berbicara dalam hati sambil tersenyum.
Ada yang tak berubah ternyata. Dari sekian banyak hal yang kupikir telah mampu aku ubah...
Aku tetap menyukai pembicaraan kita, dengan atau tanpa segelas coklat hangat kesukaanku.
Aku tetap menyukai tawa yang tercipta diantara kita...
Dan ternyata aku tetap menyukaimu. Itulah yang paling tidak berubah, kamu tetap disitu. Ternyata masih ada kamu bersembunyi dengan sangat baik disana, di hatiku...

Dan kali ini, bolehkah hati kita berjabat tangan kembali?
Membiarkannya saling memperkenalkan diri... lagi...

Labels:

Wednesday, November 25, 2009

Tentang IKhlas

Sekilas tentang Ikhlas 



Ikhlas, kata yang akrab di telinga dan lidah, namun belum tentu dekat di hati. Ikhlas, kata yang simpel namun memiliki makna yang mengakar dalam hati, dalam jiwa, dari detik penciptaan dan perjalanan hidup kita. Ikhlas, mudah untuk diucapkan, namun seringkali manusia sulit untuk melakukannya, entah karena alasan apapun: ingin dan ego.
Dalam hidup, seringkali segala sesuatu tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita. Lumrah saja bila kita meneropong hidup dari kacamata yang lebih luas. Manusia hidup tidak sendiri. Hal ini bukan berarti pencapaian keinginan adalah hasil kompromi dengan manusia lain, namun berkaitan dengan rencana yang telah Kanjeng Gusti atur untuk kita, atau meminjam istilah dari sekolah kehidupan, garis besar kurikulum pengajaran. Tentunya tidaklah saklek bagi kita, tidak seperti robot. Manusia masih punya hak untuk memilih: menolak atau menjalani.
Misalnya seperti di sekolah, kita merasa sudah belajar mati-matian namun tahu-tahunya nilai kita masih merah. Apa yang terjadi? Seharusnya kita dapat nilai yang lebih bagus, seharusnya kerja keras kita berbuah hasil yang pantas.
Kita bisa saja menyalahkan guru kita, menuduh bahwa ia tidak adil, dan sebagainya. Lalu kita menolak untuk mengikuti kelasnya, menolak untuk belajar. Namun apakah hal itu dapat membuat kita jadi lebih pintar?
Jangan-jangan aksi protes kita alih-alih malah merugikan diri sendiri. Ternyata setelah dievaluasi, cara belajar kita yang salah. Misalnya, bagaimana pelajaran bisa dipahami dengan baik kalau cara belajar kita sistem kebut semalam? Bagaimana kita bisa konsentrasi belajar kalau sebentar-sebentar Blackberry berbunyi dan kita selalu gatal untuk menjawab?
Ketika hubungan saya dengan mantan kekasih berakhir, saya tidak rela. Bagaimana mungkin saya menerima akhir hubungan itu begitu saja? Sudah banyak yang telah saya investasikan dalam hubungan ini: harapan, impian, perasaan, dan pengorbanan.
Awal hubungan kami, dapat dikatakan, tidak berjalan dengan mulus, sandungan kekasih masa lalu masih membayangi hubungan kami. Ketika hubungan itu mulai memasuki tahap yang lebih serius, kami pun dibayangi dengan keraguan akan masa depan dan rasa tidak percaya diri. Namun karena kami saling menyayangi dan perasaan itu telah tumbuh begitu kuat, kami bertahan, meski saya tidak mengerti mengapa kedamaian tidak kami rasakan.
Saat bertemu dengannya, saya merasa bahagia namun saat kami tidak dapat bertemu, saya takut kehilangan. Ketika bertemu dengannya, saya pun sangat mengontrol diri saya karena saya takut berbuat "salah" sehingga momen bahagia yang jarang itu pun rusak. Begitupun ia. Dengan caranya sendiri, ia berusaha untuk membahagiakan saya meski ia sendiri merasakan kejanggalan. I love you but something doesn't feel right.
Putus sambung jadi makanan bulanan kami. Berkali-kali kata itu terucap, namun berkali-kali pula kami menarik keputusan itu karena perasaan rindu dan takut kehilangan.
Ketika putus itu benar-benar final, saya depresi. Bagaimana mungkin hubungan yang telah saya bangun dengan susah payah, dengan pengorbanan yang begitu besar, saya biarkan berakhir begitu saja? Saya menyalahkan awal perjumpaan kami, mengapa kami menjalin hubungan kalau hanya untuk hasil akhir yang sia-sia, menyalahkan sahabat yang senantiasa memberi saran pada saya untuk berani mengutarakan perasaan hati meski bertentangan dengan keinginan (mantan) kekasih saya, tak kurang juga menyalahkan Tuhan yang (waktu itu) saya vonis telah menyeret saya dalam hubungan yang menyedihkan sekaligus melelahkan ini.
Saya marah, saya sedih, saya tidak rela, saya kecewa. Semakin saya memikirkannya dan menyadari bahwa waktu tak bisa diputar kembali, saya putus asa. Saya menutup pintu hati saya, menyeret diri dalam kepahitan dan sarkasme akan kebahagiaan sejati. Saya pesimistis dan menertawakan setiap cerita bahagia orang lain sebab saat itu saya yakin bahwa kebahagiaan itu seperti sepuntung rokok yang dibakar. Lama-lama habis, berubah menjadi abu, ditinggalkan, dan dilupakan.
Namun semakin saya tenggelam dalam kepedihan, semakin saya marah, saya merasa suatu suara jauh dalam hati saya, memanggil saya, mengusap hati saya yang dirundung kegelapan, berbisik pada saya untuk bangkit, berjalan kembali menuju Cahaya.
Saat itu saya teringat ucapan sahabat saya,
"Ketika kamu merasa sepi, rasakanlah. Ketika kamu sedih, rasakanlah. Ketika kamu menyesal, rasakanlah. Jangan kau tolak, sebab dengan begitu, akan kamu rasakan indahnya sepi, sedih, dan sesal."
Waktu ia mengatakan hal itu pada saya, saya hanya mengangguk-ngangguk pada nasehat yang terdengar idealis dan tidak masuk akal. Namun ketika Tuhan memanggil, siapa yang bisa menolak? Kita adalah bagian dari zat-Nya, kita yang pergi, akhirnya pun akan kembali pada-Nya dengan cara-cara yang misterius dan tidak terduga oleh akal manusia.
Ia berbisik, "Jadilah ikhlas, anak-Ku." Bukan dengan kepasrahan pasif, melainkan menerima dengan sepenuh hati dan rasa syukur. Menikmati aliran hidup dan ayunannya.
Perlahan seiring waktu, saya mulai melihat, meninjau, dan mengevaluasi kembali dengan ikhlas hati. Saya dan dia, dalam perjalanan hidup kami, dipertemukan, diijinkan untuk beriring bersama, saling mengenal, dan membuka rahasia hati masing-masing. Dalam proses itu, ada kasih, ada pembelajaran, baik mengenai pasangan maupun tentang diri sendiri. Ia bercerita pada saya tentang dunianya dan begitupun saya, berbagi pemikiran, berbagi perasaan. Indah rasa bahagia itu, indah pula rasa rindu, sepi, sedih, dan sesal.
Saya pun sadar bahwa saya tidak mungkin berada di tempat saya sekarang tanpa ia pernah hadir dalam hidup saya. Contoh kecil, saya tidak mungkin berani bermimpi menjadi penulis kalau bukan ia yang mendorong saya terus-menerus. Saya tidak mungkin bekerja di industri saya sekarang jika ia tidak mengenalkan dunia ini pada saya. Contoh besarnya, saya tidak mungkin mengenal diri saya dengan lebih baik seperti sekarang jika tidak melalui hubungan dengannya. Mengutip Paulo Coelho, "kesulitan" (difficulty) adalah "alat" yang teruji "turun-temurun" bagi manusia untuk mengenal dirinya. Saya pun bersyukur atas segala hal yang telah Tuhan ijinkan untuk saya alami.
Tentunya ikhlas tidak terjadi dalam semalam. Butuh proses. Bukan waktu yang paling dibutuhkan, melainkan sikap hati dan kesadaran, bahwa kita adalah bagian dari-Nya, jatuh bangun kita selalu disertai oleh-Nya, dan di balik kekelaman sekalipun, berkat menunggu untuk kita singkap.


Jakarta, 25 November 2009
Canting Candrakirana


Catatan :
1. Tuhan tidak mungkin mmberi beban di luar batas kemampuan kita
2. Cukuplah kita memikirkan hubungan kita dengan Tuhan, maka Tuhan akan memikirkan jalan hidup kita

Jangan Memeluk terlalu Erat

 COPAS dari http://ngerumpi.com/baca/2009/10/20/jangan-memeluk-terlalu-erat.html



Pernah ngga ngebayangin, kalau bulan cuma muncul sekali dalam seratus tahun? Dijamin, kita bakal menatapnya dengan segala ketakjuban dan kekaguman. Tapi dia muncul hampir di setiap malam, dan akhirnya kita lupa, dia selalu berjaga di atas sana, saat kita sudah jatuh terlelap, atau ngerusuh malem-malem di ngerumpi, sekadar melawan godaan sunyi pada jam dinding yang berdetak.
Sesuatu yang selalu ada, entah kenapa, akan terasa kurang berharga.
Trus, kalau misalnya bulan ada di sini, menggantikan bumi, akankah tetap kita tulis beribu puisi itu, yang memuja keindahan cahayanya? Akankah kita menggambarkan pesona sang kekasih seindah wajah rembulan? Kayaknya sih nggak. Malah akan kita injak-injak dia tanpa beban, tanpa terima kasih, tanpa kekaguman. Akan kita perkosa hutan-hutannya, kita reguk sari dari perutnya, seperti yang kita lakukan kepada bumi saat ini.
Sesuatu yang terlalu dekat, tak kan lagi indah terlihat.
Cinta konon seperti setumpuk pasir di telapak tangan. Digenggam kuat-kuat, butirannya akan berebut mencari celah untuk keluar, dan jatuh meluruh ke bumi. Pun telapak tangan kita akan merasakan perih akibat perlawanan itu. Tetapi jika digenggam dengan lembut, dengan menyisakan ruang untuk butiran itu, dia akan bertahan di sana, terasa ringan dan nyaman dalam genggaman.
Hal pertama yang perlu diingat ketika mencintai seseorang adalah, menyadari pada saatnya nanti, dia akan berlalu. Bermimpi cinta akan abadi, sama saja menyiapkan luka untuk diri sendiri.
Lagian, ngga ada manusia yang suka dikurung, walau itu atas nama cinta, karena rasa takut akan kehilangan. Bayangin coba, ketika suatu saat Anda tersentak bangun, menemukan diri berada di sebuah ruang gelap, mencoba memanjat tembok dalam butanya gulita. Tapi semua terkunci, tak ada celah beranjak pergi. Menyesakkan, putus asa, dendam, kalap, kalut, lalu mati.
Nah, jika Anda tak mau mati terjepit seperti itu, mengapa berpikir dia akan bersedia?
Walau mencintainya separuh hidup setengah mati, lepas sajalah. Jika dia memang untukmu, dia akan kembali. Dan bila dia memilih berlalu pergi, nah untuk apa mengalamatkan harap, mempersembahkan cinta kepada mereka yang tak merasa membutuhkannya? Bahkan menyerah tak selalu berarti lemah. Bisa jadi malah karena Anda cukup kuat membiarkannya pergi, cukup dewasa untuk tidak bertepuk sebelah tangan, terlalu keren untuk menjadi pengemis cinta, terlalu smart untuk menjadi kelihatan bodoh :D
Sayangi dirinya, juga dirimu, dengan berhenti memeluknya terlalu erat. Seperti semua
Terbitkan Entri
hal yang lain, cinta juga membutuhkan ruang, agar bisa berkembang. Menguasainya, adalah membunuhnya.

Catatan :
People say : Love like sand, more you keep it, more you lose it
Dee Says : Mari kita seiring bukan digiring

Thursday, April 13, 2006

Monday, February 07, 2005

Gimana Bisa

Hari ini gue posting ama dengerin melly feat krisdayanti...itutih yang Judulnya "Cinta"
hmmm...kira2 gini nihhhh..syairnya..."Cintai Dia Yang Mencintaimu"
hmmm bahasa kay gini pernah gw denger dari temen gw pas SMA dulu, Waktu itu dia tuh dah berkali2 di tolak. Trus akhirnya dia ngambil kesimpulan kaya gitu....
Hmmm..emang harus gitu ya?Wah kok gw rada ga setuju ya !!! Kita ya boleh dunks punya keinginan buat mencintai duluan wheheheheh
Tau achhh ga penting banged.
Hari ini, gw becandain orang..ihhhh orang nya kok langsung nutup YMnya..xixixixix
Jangan2 marah benelan ya?? Wagh..bisa bahaya..gw siy klo becandaan suka ga liat2...
Ihhh..mo ngajak ngomong duluan jadi gimana????